MANIFESTASI
KONFLIK DALAM SASTRA ARAB MODERN SERTA PENGARUHNYA PADA PERANG ARAB
(Dari Konflik
dan Perselisihan Hingga Budaya Perang dalam Syiir Suriah)
Halimi, M.
Faishol & Muhammad Majed Al-Dakhiel
Dalam kurun
waktu akhir-akhir ini, kehidupan manusia berjalan dengan penuh masalah dan
kekacauan. Salah satu buktinya adalah dengan terjadinya beberapa perang di
Timur Tengah seperti Irak, Yaman, Suriah, Tunisia, Palestina dan lain
sebagainya. Tujuan jurnal تجليات الصراع في الأدب العربي المعاصر وأثره في حرب العرب ini ditulis
salah satunya agar kita mengetahui sebab terjadinya permasalahan dalam teks
sastra, latar belakang teks sastra yang diciptakan para sastrawan dalam keadaan
perang maupun kesulitan, serta hubungan antara para sastrawan modern,
pemerintah dan masyarakat
Syiir sangat
dibutuhkan oleh manusia dengan tujuan untuk mengungkapkan peristiwa
yang terjadi dalam sehari-harinya. Sastra termasuk syiir tidak bisa dilepaskan
dari permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Terlebih bagi para sastrawan,
mereka tidak bisa terpisahkan dari lingkungan sosial masyarakat di
sekelilingnya. Menurut Izzuddin ismail, ada beberapa posisi dalam puisi
kontemporer diantaranya: posisi konfrontasi diri, posisi keterasingan, posisi
berkuda, posisi pemberontakan dan posisi sufisme. Dari lima posisi ini
yang tampaknya lebih tercermin dalam puisi Arab kontemporer adalah posisi
pemberontakan. Posisi ini direpresentasikan dalam ‘puisi perlawanan’. Munculnya
puisi perlawanan ini tidak dapat dipisahkan dari kerangka umum krisis sosial
dan budaya yang membebani masa kini dan nasib dunia Arab setelah
Perang Dunia II. Di dunia yang penuh konflik dan hancur ini, puisi Arab
telah mampu memainkan peran pelopor dan katalisator dalam proyek transformasi
budaya dan sosial.
Puisi perlawanan
dapat diciptakan oleh penyair yang sadar akan identitas budaya dan peradabannya
secara mendalam, yang menantikan kebebasan sejati untuk menghadapi pihak lain
serta didasarkan pada realitas budaya dan nilai dari komunitasnya. Puisi
perlawanan juga membawa pesan utama untuk membebaskan manusia dari tekanan, dan
penindasan di satu sisi. Semangat perlawanan ini tidak terbatas hanya pada
manifestasi di bidang puisi, namun juga tercermin dalam bidang cerita, terutama
cerita yang dikeluarkan setelah Perang Dunia Kedua. Dengan demikian,
semangat perlawanan tidak hanya dipublikasikan demi kepentingan
masyarakat umum atau hanya tertuju pada pihak luar (melawan penjajah), tetapi
juga terhadap internal (melawan penguasa zalim).
Puisi Suriah
telah menyatakan perlawanan sepanjang sejarahnya melalui dua dimensi, yaitu
dimensi ruang yang diwakili tanah, yang membawa makna puisi dan makna luar
fitur fisik untuk memperoleh dimensi spiritual dan nilai-nilai yang lebih
tinggi. Melalui salah satu contoh puisi Suriah karya penyair Omar Abu
Risha memimpin semua orang dalam kemanisan dan kekuatan romantis
bersama, yang telah tenggelam oleh keindahan alam Suriah
dan tanah air Suriah. Ini merupakan pertanda peribahasa, dan membuat
"mirage" simbol harapan yang masih bernyanyi tetapi ia tidak mengharapkan
keberadaan materialnya. Jika fatamorgana itu seperti sebuah rahasia
harapan, mengetahui kebenaran dari fatamorgana itu penting untuk mewujudkan
impian yang orang-orang di tanah air sedang impikan, dan ini hanya melalui
perjuangan dan perjuangan.
Jadi,
hubungan yang dimiliki antara sastra dan kehidupan
masyarakat itu sangat kuat dan erat kaitannya. Ketika seorang
sastrawan sedang menciptakan suatu karya sastra maka ia tidak bisa terbebas
dari apa-apa yang terlintas dalam pikirannya akan suatu keadaan.
Hubungan antara sastra dan masyarakat secara khusus
mencakup hubungan penulis dan kesadarannya tentang apa yang terjadi di
sekitarnya dan mengungkap apa yang dikhususkan untuk masyarakat dan
apa yang disembunyikan kepada orang lain. Tidak heran lagi jika
kritik sastra mengatakan bahwa sastra mencerminkan realitas sosial
dan merupakan cermin kehidupan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar